Review Film: 'Gemini Man' (2019)


“You are obviously not the best!”
— Henry Brogan
Rating UP:
Boleh dipanggil bebal, boleh juga disebut gigih. Yang jelas, Ang Lee kembali berusaha untuk meyakinkan kita bahwa HFR (high frame-rate) adalah masa depan sinema. Ini merupakan usahanya yang kedua kali untuk menyuguhkan film dengan fps (frame per second) 5 kali lebih tinggi daripada film biasa (sebelumnya ada Billy Lynn's Long Halftime Walk yang hasilnya kurang nampol). Namun apakah kita semua bakal peduli dengan semua itu saat kita tak bisa enjoy dengan apa yang kita tonton? 


Tentu saja kita tak bisa menonton Gemini Man sesuai dengan format yang diinginkan Lee. Belum ada bioskop Indonesia yang mampu menayangkan film dengan kualitas 3D + 4K + 120fps sekaligus. Namun berkat teknik dan teknologi syuting yang dipakai, gambar yang jernih dan mendetail tetap bisa kita dapatkan di bioskop konvensional. Saya takkan mengulang kembali komentar saya soal gambar berdefinisi tinggi ini karena semua sudah dinyinyiri dalam film Billy Lynn's. Alih-alih, kita akan membahas soal jualan utama dari Gemini Man, yaitu Will Smith tua vs Will Smith muda. 

Butuh waktu tunggu hingga 22 tahun untuk bisa memproduksi film ini dikarenakan teknologi sinema yang belum memadai. Banyak sutradara dan aktor yang datang dan pergi, sebelum akhirnya mendarat di tangan Ang Lee dan Will Smith. Sekarang teknologinya sudah ada, tapi justru ceritanya yang jadi telat 22 tahun. Mekanika plotnya sudah dipakai oleh puluhan film lain; yang paling dekat adalah Looper-nya Rian Johnson. Premisnya pun sudah tak lagi high-conceptCaptain Marvel sudah menciptakan kesan lebih dulu, walau sebetulnya proses di sana tak seribet di sini. 

Efek spesialnya ditangani penyihir CGI dari Weta Digital. Alih-alih polesan, pembuatan Will Smith muda konon menggunakan motion-capture, sehingga muka Smith yang kita lihat di layar adalah murni kreasi komputer. Dengan menggunakan foto dan videonya semasa muda sebagai referensi, tercipta lah Will Smith versi 20-tahunan yang cukup realistis. Ada sebuah adegan mengesankan dimana dua Smith ini saling beradu jotos yang terlihat tanpa terlihat palsu. Namun ada pula adegan ngobrol di akhir film dimana Smith muda seperti berasal dari dimensi yang sama dengan kumis Henry Cavill di Justice League. Meski begitu, di sebagian besar film, ini tampak cukup meyakinkan. Hollywood tak perlu khawatir semisal butuh Will Smith sampai 100 tahun ke depan. 

Smith bermain sebagai Henry, agen hebat yang bahkan mampu membunuh target di kereta cepat yang sedang bergerak dari jarak jauh. Ia sudah membantai hingga 72 orang, dan sekarang memutuskan pensiun. Namun karena satu dan lain hal, agensi malah memburunya. Orkestratornya adalah Clay Varris (Clive Owen) yang punya proyek rahasia bernama "Gemini". Untuk menetralisir Henry, ia mengutus Junior, sampel dari tentara super yang ingin diciptakan Clay. Ia juga adalah klon yang dibuat dari DNA Henry sehingga punya semua kemampuan Henry bahkan lebih unggul (katanya). 

Plot ini mengijinkan film untuk memberikan kita dua Will Smith. Namun ini tak cukup untuk mengkompensasi karakterisasi, perkembangan cerita, dan dialog yang usang. Ada sedikit bagian yang mengindikasikan eksplorasi tema soal jati diri, ada pula momen fun saat Smith tua menasihati dirinya yang masih muda. Sayangnya skrip yang ditangani oleh David Benioff, Billy Ray & Darren Lemkeberjalan plek-ketiplek dengan formula film aksi-thriller generik. Cerita bermain nyaris tanpa tensi. Mary Elizabeth Winstead dan Benjamin Wong numpang nongol di beberapa adegan. Kita barangkali hampir tak sadar bahwa perjalanan Henry sebetulnya adalah lintas negara, mulai sari Georgia, Kolombia, hingga Hungaria. 

Meski begitu, saya bisa bilang apa soal Ang Lee; sutradara Crouching Tiger Hidden Dragon ini benar-benar habis-habisan menangani sekuens aksi. Adegan kejar-kejaran (dan laga!) melibatkan sepeda motor menggunakan koreografi dan sinematografi yang mengagumkan. Kamera bergerak di dalam aksi alih-alih sekadar menyorot. Tembak-tembakan di atap juga terasa sangat dekat dan imersif. Saya tak bisa membayangkan seandainya saya menonton dalam format 3D + 4K + 120fps. Pasti saya sudah pipis di celana. 

Train of thought dalam menonton film seharusnya bukan begini. Biasanya setelah menonton film bagus, kita baru penasaran mencari tahu bagaimana teknik keren di dalamnya dilakukan. Bukannya memaklumkan kualitas film setelah tahu bagaimana teknik keren di dalamnya dilakukan. Beberapa tahun ke depan, barangkali apa yang dilakukan Lee bakal mendapat apresiasi yang layak. Namun, aspek teknikal seharusnya berfungsi untuk membantu bercerita alih-alih ngeberesin cerita. Lewat Gemini Man, Lee terkesan hanya memikirkan estetika digital belaka. 

Posting Komentar

0 Komentar

close